Jumat, 09 September 2016

TARI KETUK TILU DAN JAIPONGAN

A.    SEJARAH TARI KETUK TILU DAN JAIPONGAN

Tari ini diciptakan oleh seorang seniman asal Bandung, Gugum Gumbira, sekitar tahun 1960-an, dengan tujuan untuk menciptakan suatu jenis musik dan tarian pergaulan yang digali dari kekayaan seni tradisi rakyat Nusantara, khususnya Jawa Barat. Meskipun termasuk seni tari kreasi yang relatif baru, jaipongan dikembangkan berdasarkan kesenian rakyat yang sudah berkembang sebelumnya, seperti Ketuk Tilu, Kliningan, serta Ronggeng. Perhatian Gumbira pada kesenian rakyat yang salah satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu. Gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid dari beberapa kesenian menjadi inspirasi untuk mengembangkan kesenian jaipongan. Sedangkan Ketuk Tilu adalah suatu tarian pergaulan dan sekaligus hiburan yang biasanya diselenggarakan pada acara pesta perkawinan, acara hiburan penutup kegiatan atau diselenggrakan secara khusus di suatu tempat yang cukup luas. Pemunculan tari ini di masyarakat tidak ada kaitannya dengan adat tertentu atau upacara sakral tertentu tapi murni sebagai pertunjukan hiburan dan pergaulan. Oleh karena itu tari ketuk tilu ini banyak disukai masyarakat terutama di pedesaan yang jarang kegiatan hiburan.

B.     PERKEMBANGAN TARI JAIPONGAN DENGAN KETUK TILU
Dari tari Jaipong ini mulai lahir beberapa penari Jaipongan yang handal seperti Tati Saleh, Yeti Mamat, Eli Somali, dan Pepen Dedi Kirniadi. Kehadiran tari Jaipongan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap para pencinta seni tari untuk lebih aktif lagi menggali jenis tarian rakyat yang sebelumnya kurang di perhatikan. Dengan munculnya tari Jaipongan ini mulai banyak yang membuat kursus-kursus tari Jaipongan, dan banyak dimanfaatkan oleh para pengusaha untuk pemikat tamu undangan.
Di Subang Jaipongan gaya “Kaleran” memiliki ciri khas yakni keceriaan, erotis, humoris, semangat, spontanitas, dan kesederhanaan. Hal itu tercermin dalam pola penyajian tari pada pertunjukannya, ada yang diberi pola (Ibing Pola) seperti pada seni Jaipongan yang ada di Bandung, juga ada pula tarian yang tidak dipola (Ibing Saka), misalnya pada seni Jaipongan Subang dan Karawang. Istilah ini dapat kita temui pada Jaipongan gaya kaleran, terutama di daerah Subang. Sedangkan ketuk tilu yang sekarang sudah mulai memakai bodoran bodoran dan meninggalkan kebiasaan lama, dan sudah masuk kalangan menengah ke atas yang asalnya hanya di pakai hiburan di pedesaan saja.

C.    BENTUK PENYAJIAN DAN CIRI KHAS JAIPONGAN DAN KETUK TILU

            Ciri khas Jaipongan gaya kaleran, yakni keceriaan, erotis, humoris, semangat, spontanitas dan kesederhanaan (alami/apa adanya). Hal itu tercermin dalam pola penyajian taxi pada pertunjukkannya, ada yang diberi pola (Ibing Pola) seperti pada seni Jaipongan yang ada di Bandung, juga ada tarian yang tidak dipola (Ibing Saka), misalnya pada Seni jaipongan Subang dan Karawang. Istilah ini dapat kita temui pada Jaipongan gaya Kaleran, terutama di daerah Subang. Dalam penyajiannya, Jaipongan gaya kaleran ini sebagai berikut : 1) Tatalu ; 2) Kembang Gadung 3) Buah Kawung Gopar ; 4) Tari Pembukaan (Ibing Pola), biasanya dibawakan oleh penari tunggal atau Sinde Tatandakan (seorang Sinden tetapi tidak menyanyi melainkan menarikan lagu sinden/juru kawih); 5) Jeblokan dan Jabanan, merupakan bagian pertunjukkan ketika para penonton (Bajidor) sawer uang (Jabanan) sambil salam temple sedangkan Ketuk Tilu memiliki struktur sajian tersendiri yaitu diawali dengan Tatalu (sajian gending pembukaan), kemudian Ronggeng masuk arena. Pada bagian ini Ronggeng masuk beriringan sambil menari bersama. Dilanjutkan dengan taxi Jajangkungan yang diirngi dengan Gamelan (instrumentalia). Bagian berikutnya adalah Wawayangan yang dilakukan oleh Ronggeng dengan posisi setengah lingkaran atau tapal kuda. Mereka menari sambil menyanyikan Kidung. Selesai Wawayangan, para Ronggeng berbanjar ke samping menghadap Panjak (para penabuh atau Nayaga). Jika bermain di atas panggung, maka posisi banjarnya membelakangi penonton. Selanjutnya, Lurah kongsi (pimpinan rombongan) membakar kemenyan dalam Parupuyan yang disimpanberdekatan dengan ” Pangradinan (sesajen), kemudian membacakan matera­mantera, memohon keselamatan selama pagelaran serta minta rizki yang banyak. Selain itu dibacakan pula (secara perlahan) Asihan agar para Ronggengnya disukai oleh para penonton



D.    GERAKAN JAIPONGAN DAN KETUK TILU
Rangkaian gerak tari jaipong dapat dibedakan menjadi empat bagian:
Bukaan, merupakan gerakan pembuka,
  1. Pencugan, merupakan bagian kumpulan gerakan-gerakan,
  2. Ngala, bisa juga disebut titik merupakan pemberhentian dari rangkaian tarian, dan
  3. Mincit, merupakan perpindahan atau peralihan.
Gerakan dasar tarian ini sering disebut 3G akronim dari Geol (gerakan pinggul memutar), Gitek (gerakan pinggul menghentak dan mengayun), Goyang (gerakan ayunan pinggul tanpa hentakkan).  Sedangkan Gerak tari ketuk tilu diantaranya goyang , pencak, muncid, gitek dan geol ditambah dengan gerak sehari-hari (spontanitas) , cingeus . nama gerak ketuk tilu antara lain depog/ ewag, ban karet, bajing luncat, bongbang, meulit kacang , oray -orayan, kalawit , jerete, torondol, balik bandung, balungbang, dll. lagu-lagu yang digunakan adalah lagu kidung, erang, kagok, kaji-kaji, polotosmo, golektrak, tunggul kawung, sorong dll. Kostum yang dipakai menggunakan kebaya / apok, sinanjang sabuk dan asesoris seperti gelang dan kalung warna pakaian biasanya yang mencolok . Untuk laki- laki baju kampret, celana pangsi , ikat kepala , sabuk kulit , golok sebagai lambang kejantanan biasanya para jawara memakai gelang bahar dan warna baju gelap.




Rabu, 07 September 2016

Pola Tabuh Kacapi Indung dalam Tembang Sunda Cianjuran

I. Latar Belakang Masalah
Tembang sunda cianjuran merupakan salah satu jenis kesenian tradisional hasil karya masyarakat sunda yang memiliki nilai adiluhung, yang berasal dari daerah Cianjur Jawa Barat, dan disebut dengan seni mamaos, yang lahir dikalangan elit. Dalam pertunjukannya tembang Sunda Cianjuran  tidak akan terlepas dari dua komponen utama, yaitu panembang dan pamirig. Dan yang menjadi pusat atau jantung dalam hal musik tembang Sunda Cianjuran yakni berada pada instrumen kacapi indung, karena dalam penyajiannya lebih banyak didominasi oleh pirigan kacapi indung. Pirigan (iringan) dalam tembang Sunda Cianjuran yang dimainkan oleh kacapi indung, memiliki fungsi bahwa kacapi indung merupakan induk dari panembang dan instrumen lain, kemudian sebagai pemberi aba-aba, pengiring dan pengisi kekosongan, pengaturan tempo (embat) dan juga sebagai pemberi kesan atau rasa musikal terhadap penembang. Dan juga terdapat instrumen kacapi rincik, suling, dan rebab.
Kacapi indung adalah jenis alat musik berdawai (chordophone) berbentuk bar zither yang digunakan untuk mengiringi vokal tembang sunda cianjuran. Kacapi indung memiliki delapan belas utas dawai. Pada bagian ujung sebelah kanan dan kiri kacapi indung terdapat bentuk setengah lingkaran yang menyerupai sanggul (gelung). Pada bagian bawah kacapi indung terdapat lubang resonator yang berfungsi sebagai pengeras bunyi. Di samping itu, lubang resonator juga berfungsi sebagai jalan masuk untuk mengikatkan dawai ke bagian ujung pureut (pureut adalah bagian untuk menyetelkan nada pada kacapi indung). Sementara di tengah-tengah bagian depan kacapi indung terdapat delapan belas pureut untuk menyetem nada dengan cara memutarkan pureut tersebut ke arah kanan atau kiri. Berdasarkan seluruh uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa silogisme sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya dapat dibuktikan kebenarannya. Dengan demikian, kacapi pantun atau kacapi indung sebagai produk budaya masyarakat ladang yang mencerminkan pola tiga dapat terbukti kebenarannya. (Heri Herdini, Jurusan Karawitan STSI Bandung).
Pada konteks ini penulis mempunyai tanda tanya besar yang menjadi permasalahan, karena dari beberapa tokoh/penabuh kacapi indung sering ada perbedaan pola tabuh. Hal yang akan di angkat adalah perbedaan pola tabuh kacapi indung dalam petikan gelenyu jejemplangan yaitu pada lagu Jemplang Panganten dari lima penabuh kacapi indung. Karena pada saat ini banyak motif-motif berbeda yang di mainkan oleh para penabuh kacapi indung. Berdasarkan alasan tersebut penulis ingin mengajukan penelitian yang berjudul :
“PERBEDAAN POLA TABUH PETIK GELENYU JEMPLANG PANGANTEN NANANG ZAENUDIN DENGAN JULI KARTAWINATA PADA KACAPI INDUNG DALAM TEMBANG SUNDA CIANJURAN (STUDI KOMPARATIF)”
Batasan masalah pada penelitian ini yaitu akan mengkaji perbedaan pola tabuh petik gelenyu jemplang panganten terhadap dua penabuh kacapi indung.

II. Rumusan Masalah
Untuk penelitian tentang perbedaan pola tabuh sangat banyak yang bisa di bedakan, karena keduanya mahir dan terampil memainkan kacapi indung. Tidak dalam lagu jemplang panganten saja tapi lagu-lagu dalam tembang sunda cianjuran pun mereka sangat terampil.
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulis membuat suatu pertanyaan penelitian, yaitu : Bagaimana perbedaan pola tabuh gelenyu jemplang panganten Nanang Zaenudin dan Juli Kartawinata pada kacapi indung dalam tembang sunda cianjuran?
Dari rumusan masalah tersebut, diharapkan dapat menguraikan beberapa perbedaan pola tabuh lagu gelenyu jemplang panganten pada kacapi indung untuk mudah diketahui dan dipelajari.

III. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
            Tujuan utama penelitian ini adalah mengetahui perbedaan pola tabuh petik gelenyu jemplang panganten Nanang Zaenudin dan Juli Kartawinata pada kacapi indung dalam tembang sunda cianjuran. Sehingga jika semakin banyak perbedaan yang dimiliki oleh kedua seniman tersebut, maka tekhnik pola tabuh keduanya menarik, di samping untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan tugas akhir studi S-1 prodi Karawitan Fakultas Seni Pertunjukan ISBI Bandung. Dan diharapkan tulisan ini bisa menjadi rujukan atau bacaan untuk kacapi indung.

IV. Tinjauan Sumber
a. Sumber pustaka
            Tinjauan Pustaka  diperlukan untuk dijadikan landasan analisis pada penelitian ini. Pustaka-pustaka tersebut pada umumnya berupa karangan ilmiah, artikel, makalah, skripsi dan buku cetak yang didalamnya berisi informasi, pengetahuan, dan konsep-konsep pemikiran yang berkaitan langsung maupun tidak langsung terhadap masalah-masalah yang akan diteliti. Pustaka-pustaka tersebut antara lain:

1.  Metode Pembelajaran Kacapi Indung dalam Tembang Sunda Cianjuran, Heri Herdini ,2003.
            Sumber bacaan ini berisi tentang metode atau cara belajar kacapi indung. Baik dari tekhniknya,pola tabuh pada kacapi indung dalam tembang sunda cianjuran.

2.  “Tatandingan Kageulisan Purba Sari jeung Purba Rarang (Kacapi indung nu nganteur jalanna carita)” Samsi Al Haris, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung,  2013.
            Skripsi ini membahas tentang drama musikal Lutung Kasarung, tetapi didalamnya juga terdapat tekhnik-tekhnik bermain dan pengertian kacapi indung.
b. Sumber lisan
            Yang dimaksud dengan sumber lisan adalah sejumlah tokoh yang dijadikan sebagai narasumber. Adapun beberapa narasumber tersebut adalah:
1. Nanang Zaenudin sebagai narasumber dalam tulisan ini dan beliau sebagai asisten dosen mata kuliah pilihan kacapi tembang di jurusan karawitan ISBI Bandung.
2. Juli Kartawinata sebagai narasumber dalam tulisan ini dan beliau sebagai seniman sunda di daerah Sumedang Jawa Barat.

V. Metode  Penelitian
 Untuk mencapai hasil yang diharapkan dalam penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif, sebagaimana yang dikemukakan oleh bogdan dan taylor yaitu:
Pendekatan kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang dapat diamati.Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistic[1].
Pendekatan ini diharapkan dapat membantu penulis dan memperjelas dalam mengamati berbagai teknik yang akan diberikan oleh beberapa narasumber, sehingga ketika semua data sudah di dapatkan maka akan lebih mudah untuk di bandingkan data tersebut.
Adapun Langkah-langkah yang penulis tempuh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Pengumpulan data
Dalam pelaksanaan pengumpulan data ini ditempuh melalui beberapa cara yaitu:
1. Studi kepustakaan
            Cara ini ditempuh dalam rangka mencari dan mempelajari beberapa literature yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti sebagai landasan sumber teoritis.Literatur yang dimaksud tidak hanya berbentuk buku, tetapi dalam bentuk yang lainnya seperti artikel, paper, makalah yang telah diseminarkan, laporan penelitian dan lain-lain.
2. Observasi
Merupakan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti untuk memperoleh gambaran yang jelas dalam mencari solusi dalam mengahadapi masalah yang dihadapi.
3. Wawancara
            Merupakan suatu cara yang dipergunakan untuk mendapat keterangan secara lisan dari seseorang responden atau narasumber. Kegiatan ini dilakukan  dengan cara bercakap-cakap berhadapan muka secara langsung dengan orang tersebut (Kuntjoroningrat, 1983:129)
4. Pendokumentasian
            Yaitu suatu cara pengumpulan data dengan menggunakan peralatan elektronik baik secara audio ( dengan menggunakan alat recorder), secara visual (menggunakan kamera photo), ataupun secara audio visual ( menggunakan video recorder).
            Cara ini ditempuh dengan mengajukan sejumlah pertanyaan baik yang telah tersusun atau secara spontan kepada para narasumber.
b. Pengolahan data
Langkah ini merupakan kegiatan menganalisis data yang telah terkumpul untuk dikaji dan dibuktikan kebenarannya, sehingga menjadi sebuah rumusan yang objektif.
Dalam pengolahan data ini penulis akan sekaligus mempraktekan hasil informasi seputar tekhnik pola tabuh gelenyu jemplang panganten kacapi indung, untuk mengetahui perbedaan antara Nanang Zaenudin dengan Juli Kartawinata.
c. Perumusan dan Penyusunan Data.
            Tahap ini merupakan kegiatan mendeskripsikan  sejumlah data-data yang terkumpul dan telah dianalisis perbandingannya untuk menjadi sebuah rumusan tertulis dengan sistematika yang telah ditentukan. Selain itu tulisan ini diharapkan menjadi suatu bentuk karya ilmiah (skripsi) yang dapat di pertanggungjawabkan kebenarannya.
            Untuk menghasilkan sebuah rumusan yang objektif, selain disusun berdasarkan sistematika penulisan yang telah ditentukan, juga ditunjang dan diperkuat dengan sejumlah sumber, baik secara lisan (pendapat narasumber) maupun sumber tertulis (literatur) yang relevan dengan objek masalah penelitian yang telah dikaji.

VI. Sistematika Penulisan
            Dari beberapa pokok masalah yang diuraikan, penulis mencoba menyusunnya dalam suatau kerangka dasar penulisan dengan sistematika sebagai berikut :
Pada Bab I dibahas tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tinjauan sumber, metode penelitian.
Bab II, membahas tentang profil dua orang seniman penabuh kacapi indung yaitu Nanang Zaenudin dan Juli Kartawinata. Pembahasan ini merangkap dengan latar belakang kehidupan, proses kesenimanan dan popularitasnya.
Bab III merupakan bahasan pokok, yaitu tentang perbandingan pola tabuh bermain kacapi indung dalam gelenyu jemplang panganten antara Nanang Zaenudin dengan Juli Kartawinata.
Bab IV , Kesimpulan, yaitu uraian tentang jawaban dari permasalahan pokok yang dipertanyakan dalam rumusan masalah.


Daftar Pustaka

Herdini, Heri
2003    Metode Pembelajaran Kacapi Indung dalam Tembang Sunda
cianjuran. Bandung : STSI PRESS.
Al Haris, Samsi
2013 “ Tatandingan Kageulisan Purba Sari jeung Purba Rarang (Kacapi Indung nu Nganteur Jalanna Carita)”Skripsi S1. STSI Bandung.



[1] Lekxi J Moleong, Metodologi Penelitian Kuantitatif( Bandung : Remaja RosdaKarya, 1993), 80.